Setelah penantian panjang, DOOM: The Dark Ages akhirnya resmi dirilis, menghadirkan pengalaman baru yang benar-benar mengguncang bagi para penggemar FPS. Berbeda dari seri sebelumnya yang kental dengan nuansa futuristik dan teknologi canggih, id Software kali ini justru menyeretmu ke dunia kelam bergaya abad pertengahan dengan atmosfer yang sangat khas.Aku mulai memainkan game ini pada 1 Juni dan menamatkannya pada 29 Juni 2025, dengan total waktu bermain sekitar 21 jam—termasuk sesi coba-coba pengaturan grafis ray tracing dan percobaan streaming yang sesekali sedikit mengganggu fokus bermain.
Sebagai seseorang yang belum pernah menyentuh seri DOOM sebelumnya, pengalaman ini benar-benar jadi pembuka mata. The Dark Ages bukan sekadar prekuel dari DOOM (2016), tetapi juga berhasil membangun ulang citra Doomguy dengan gaya yang lebih epik, lebih brutal, dan jauh lebih sinematik.
Review DOOM: The Dark Ages
Silakan simak ulasan dalam format video naratif di bawah ini, atau klik di sini untuk menontonnya langsung di YouTube.
Gameplay DOOM: The Dark Ages
Gameplay yang Seimbang, Cepat, dan Tetap Brutal
Sistem Kombat yang Fresh untuk Pemain Baru
Meskipun ini adalah DOOM pertamaku, aku langsung klop dengan sistem kombatnya. Di tingkat kesulitan “Hurt Me Plenty” (tingkat kedua dari enam), game ini menawarkan keseimbangan yang pas antara tantangan dan aksesibilitas. Pertarungannya cepat, responsif, dan sangat adiktif. Timing menjadi kunci, terutama ketika harus menghadapi musuh yang datang dalam gelombang tanpa henti.

Setiap senjata di game ini punya karakteristik yang khas. Berikut beberapa senjata favoritku.Super Shotgun jadi andalan utamaku karena damage-nya luar biasa brutal di jarak dekat. Sebelum mendapatkan Super Shotgun, aku sempat jatuh hati pada Combat Shotgun, lalu pada Shredder (versi SMG yang berbentuk seperti crossbow otomatis), dan Accelerator yang punya efek ledakan di level-level akhir.Ada juga Rocket Launcher dengan upgrade yang bisa menyerap darah musuh—sangat efektif dan terasa sangat satisfying.Untuk senjata melee, Dreadmace adalah juaranya. Aku suka menyebutnya “senjata pentungan Majapahit”, karena setiap ayunannya terasa sangat powerful dan memberi sensasi hantaman yang benar-benar memuaskan.
Sayangnya, ada dua senjata yang paling jarang kugunakan: Chainshot dan Grenade Launcher. Bukan karena keduanya lemah, tetapi sensasi penggunaannya terasa kurang memuaskan.
Level Desain, Musuh, dan Pacing yang Ketat
Desain level mulai benar-benar terasa menarik dari Chapter 15 hingga klimaks di Chapter 22. Ritmenya sangat cepat—kamu nyaris nggak dikasih kesempatan buat bernapas sampai semua musuh di ruangan tersapu habis. Perpaduan arena tertutup dan gelombang musuh yang terus berdatangan membuat setiap pertempuran terasa seperti tarian kematian yang brutal sekaligus serba kilat.

Musuh yang kamu hadapi cukup beragam dan memaksa kamu untuk berpikir cepat. Ada “Cacodemon Hybrid” yang bisa terbang, “Agaddon Hunter” dengan perisai super menyebalkan, “Revenant” yang bisa menghilang, sampai “Cyberdemon” dan “Cosmic Baron” yang benar-benar brutal.Yang paling bikin frustrasi mungkin adalah “Acolyte”, penyihir gesit yang hanya bisa dikalahkan dengan menghancurkan clone-nya terlebih dahulu. Tingkat kesulitannya sudah terasa menantang bahkan di mode normal—sulit membayangkan betapa gilanya di tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Cerita yang Lambat di Awal, Tapi Bikin Ketagihan di Akhir
Satu hal yang sempat agak mengganggu di awal adalah penyampaian ceritanya yang terasa kurang jelas. Game langsung dibuka dalam situasi penuh kekacauan: Doomguy tiba-tiba terjun ke medan perang, dan ada kesan seolah ia sedang dikendalikan oleh sesuatu.Namun, setelah memasuki Chapter 10 ke atas, alur cerita mulai mengerucut dan terasa lebih terarah. Fokus pada motif balas dendam setelah Doomguy dibunuh oleh Ahzrak menjadi titik balik yang kuat dan emosional. Momen itu benar-benar mengikat keseluruhan narasi.Sebagai penutup, aku bahkan mendapatkan achievement “Too Angry to Die”—sebuah akhir yang terasa sangat pas untuk perjalanan penuh darah ini.
Salah satu momen paling epik adalah ketika naga Doomguy gugur demi melindunginya. Sejak saat itu, nuansa dendam terhadap para demon terasa semakin kuat dan mendominasi cerita.
Visual, Suara, dan Atmosfer yang Selaras
Secara teknis, grafis The Dark Ages memang bukan yang paling spektakuler, namun sangat efektif dalam membangun atmosfer gelap yang dipenuhi peperangan. Dengan ray tracing diaktifkan, tampilan game menjadi lebih cerah dan kaya warna, meskipun arah desain visualnya tetap berpegang pada dunia yang muram dan suram. Dunianya terasa seperti kerajaan abad pertengahan yang disisipi teknologi futuristik—kombinasi yang terdengar ganjil, tetapi justru terasa masuk akal saat dimainkan.
Soundtrack punk-rock yang enerjik, dipadu dengan efek suara yang menghentak, benar-benar memperkuat intensitas gameplay. Cutscene dan animasinya pun digarap dengan sangat baik, menghadirkan nuansa sinematik tanpa sedikit pun mengikis identitas “DOOM” yang brutal dan penuh adrenalin.
Performa & Optimisasi di PC Modern
Sebagai gamer PC, aku selalu penasaran seberapa optimal game-game modern bisa berjalan di hardware terkini—terlebih sejak aku menggunakan GPU baru, yaitu RTX 5070 Ti. DOOM: The Dark Ages adalah salah satu judul yang benar-benar menguji kemampuan sistem secara ekstrem.Aku memainkan game ini pada resolusi 1440p dengan semua pengaturan grafis diset ke level tertinggi, serta fitur Frame Generation (FG) diaktifkan pada konfigurasi 4x.
Tanpa ray tracing, game ini mampu berjalan dengan sangat mulus di atas 250 fps menggunakan preset DLSS DLAA, yang sangat ideal untuk gaya permainan super cepat khas DOOM. Namun, saat ray tracing diaktifkan, performa menjadi jauh lebih tidak stabil dan sangat bergantung pada preset DLSS yang dipilih:
- DLSS DLAA: 20–50 fps (rata-rata 25 fps)
- DLSS Quality: 30–70 fps (rata-rata 40 fps)
- DLSS Balance: 50–80 fps (rata-rata 50 fps)
- DLSS Performance: 60–120 fps (rata-rata 65 fps)
- DLSS Ultra Performance: tidak bisa dinilai akurat karena terjadi bug fatal—saat aku coba karakter utama diam tak bergerak, tapi kemungkinan FPS bisa mencapai 90–150 fps jika bug tersebut diperbaiki.
Secara teknis, DOOM: The Dark Ages sangat stabil dimainkan dalam kondisi normal. Sepanjang campaign, aku tidak menemukan bug maupun crash besar yang mengganggu jalannya permainan.Namun, ketika merekam gameplay—terutama pada momen pertempuran yang sangat intens—hasil videonya menunjukkan stuttering. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh beban berat dari kombinasi ray tracing dan efek partikel di layar yang sangat padat.Meskipun tidak memengaruhi pengalaman bermain secara langsung, hal ini patut diperhatikan oleh para content creator yang ingin merekam footage berkualitas tinggi sambil bermain.
Secara keseluruhan, optimalisasi game ini tergolong sangat baik untuk hardware kelas atas masa kini. Namun, penggunaan ray tracing jelas memerlukan pertimbangan khusus, terutama bagi pengguna yang ingin bermain sambil melakukan perekaman atau streaming. Kabar baiknya, tanpa ray tracing sekalipun, kualitas visual tetap mengesankan dan pengalaman bermain tetap terasa maksimal.
Secara pribadi, aku lebih memilih bermain tanpa mengaktifkan fitur ray tracing. Alasannya, frame rate-nya kurang stabil di atas 60 fps, sementara bagiku game ini membutuhkan latency serendah mungkin agar terasa responsif. Selain itu, ketika ray tracing diaktifkan—terutama jika dikombinasikan dengan frame generation—visualnya justru terlihat seperti gerakan lambat (slow motion).Di sisi lain, kualitas visual game ini juga bukan merupakan daya tarik utama atau sesuatu yang benar-benar istimewa. Dengan pertimbangan tersebut, aku merasa jauh lebih nyaman memainkan game ini tanpa ray tracing demi mendapatkan pengalaman bermain yang lebih optimal.
Replayability dan Harga: Apakah Layak Beli?
Jika kamu bertanya apakah game ini layak untuk dimainkan ulang, jawabannya: ya, sangat layak. Salah satu daya tarik utama DOOM: The Dark Ages adalah tingkat replayability yang sangat tinggi. Game ini menawarkan hingga enam level kesulitan berbeda, sehingga kamu bisa terus menantang diri dengan pengalaman bermain yang selalu terasa segar.
Secara resmi, game ini diklaim dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 14 jam jika pemain hanya berfokus pada alur cerita utama tanpa melakukan eksplorasi tambahan. Namun, berdasarkan pengalamanku sendiri, setelah menambahkan sesi uji coba grafis ray tracing dan live streaming, total waktu bermainku mencapai sekitar 21 jam, meskipun durasi gameplay murninya berada di kisaran 18–19 jam.Hal ini menunjukkan bahwa lama permainan sangat bergantung pada gaya bermain masing-masing pemain dan seberapa jauh mereka ingin mengeksplorasi konten di dalam game.
Selain itu, game ini juga memiliki nilai ulang yang kuat. Pemain didorong untuk kembali mengeksplorasi dunia game, entah untuk mengumpulkan berbagai collectible seperti gold, ruby, dan wraithstone, maupun untuk mencoba ulang beragam senjata dengan pendekatan bermain yang berbeda. Kehadiran fitur quick save serta peta 3D sangat menunjang pengalaman eksplorasi dan membuat proses replay tetap menarik, terutama bagi pemain yang ingin mematangkan strategi dalam menghadapi demon yang semakin ganas.
Untuk harganya, aku membeli versi standar seharga Rp1.000.000. Menurutku, itu masih sepadan dengan kualitas yang ditawarkan. Namun, jika kamu belum familiar dengan seri DOOM, harga yang lebih ideal mungkin berada di kisaran Rp750.000.Meski begitu, dari sudut pandang gamer FPS, game ini tetap layak dibeli dengan harga penuh—terutama jika kamu menyukai tantangan, tempo permainan yang cepat, dan atmosfer gelap yang intens.
Kesimpulan: DOOM yang Segar, Brutal, dan Layak Dinikmati
DOOM: The Dark Ages membuktikan bahwa formula klasik dapat dibawa ke arah yang lebih segar tanpa mengorbankan identitas brutalnya. Meskipun merupakan entri prekuel dengan latar dunia yang lebih kuno, game ini tetap mempertahankan roh khas DOOM: tembak secepat mungkin, hancurkan para demon, dan jangan pernah berhenti bergerak.
Sebagai pendatang baru di franchise ini, aku benar-benar terkesan dengan cara game ini memperkenalkan dunianya. Meskipun alurnya terasa membingungkan di awal, narasinya berkembang dengan kuat memasuki pertengahan hingga akhir. Doomguy memang tetap menjadi karakter bisu, tetapi setiap tindakannya berbicara jauh lebih lantang daripada kata-kata—terutama ketika ia bangkit kembali dari kematian demi menuntut balas.
Gameplay adalah bintang utama di sini. Setiap senjata terasa memiliki bobot dan karakter tersendiri, setiap demon hadir dengan pola serangan yang unik, dan setiap level dirancang untuk memaksa pemain berpikir cepat tanpa kehilangan ritme permainan yang agresif. Dipadukan dengan soundtrack metal yang menghentak serta atmosfer kelam yang kuat, The Dark Ages menghadirkan pengalaman FPS yang imersif, memacu adrenalin, dan benar-benar memuaskan.
Dari sisi teknis, performanya tergolong solid di PC modern, meski penggunaan ray tracing membutuhkan pertimbangan tersendiri. Namun, baik dengan maupun tanpa fitur tersebut, game ini tetap mampu berjalan mulus dan menyajikan pengalaman visual yang memuaskan serta mengesankan.
Untuk para penggemar FPS, baik yang baru pertama kali menjajal DOOM maupun para veteran, game ini menawarkan banyak alasan untuk dicoba. Nilai replayability-nya tinggi, durasi permainannya fleksibel, dan sensasi kombat yang dihadirkan nyaris tak tertandingi di genre sejenis. Ini adalah tipe game yang begitu tamat, kamu langsung berpikir: “Gue harus coba mode yang lebih susah lagi!”
Singkatnya, DOOM: The Dark Ages adalah paket lengkap: seru, intens, dan dipenuhi momen-momen badass yang sulit dilupakan. Sebuah pembuktian bahwa bahkan setelah puluhan tahun, DOOM masih mampu berevolusi tanpa pernah kehilangan jiwa liarnya.





